KATA SEPAKAT
DALAM PERJANJIAN
1.
SYARAT SAH PERJANJIAN
Bahwa, untuk syarat sah suatu
perjanjian telah diatur sebagaimana ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata yang
menyatakan sebagai berikut :
“Untuk sahnya
persetujuan-persetujuan diperlukan syarat :
1.
Sepakat mereka yang mengikatkan
dirinya
2.
Cakap untuk membuat suatu
perikatan
3.
Suatu hal tertentu
4. Suatu
sebab yang halal”
Bahwa, Kedua syarat yang
pertama dinamakan syarat subjektif. Adapun cacat syarat subjektif yang pertama
sebagaimana diatur dalam Pasal 1321 KUH Perdata,
“tidak
ada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau
diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”.
Bahwa, Kekhilafan yang
mengakibatkan batalnya suatu persetujuan, , sebagaimana dalam Pasal 1322 KUH
Perdata:
“Kehilafan
tidak mengakibatkan batalnya suatu persetujuan selain apabila kekhilafan itu
terjadi mengenai hakikat brang yang menjadi pokok persetujuan. Kehilafan tidak
menjadi sebab kebatalan, jika kekhilafan itu hanya terjadi mengenai dirinya
orang dengan siapa seorang bermaksud membuat suatu persetujuan, kecuali jika
persetujuan itu telah dibuat terutama karena mengingat dirinya orang tersebut”.
Paksaan yang mengakibatkan
batalnya suatu persetujuan, sebagaimana dalam Pasal 1323 KUH Perdata:
“Paksaan
yang dilakukan terhadap orang yang membuat suatu persetujuan, merupakan alasan
untuk batalanya persetujuan, juga apabila paksaan itu dilakukan oleh seorang
pihak ketiga, untuk kepentingan siapa persetujuan tersebut tidak telah dibuat”.
Penipuan yang mengakibatkan
batalnya suatu persetujuan, sebagaimana dalam Pasal 1328 KUH Perdata:
“Penipuan
merupakan suatu alasan untuk pembatalan persetujuan, apabila tipu-muslihat yang
dipakai oleh salah satu pihak, adalah sedemikian rupa hingga terang dan nyata
bahwa pihak yang lain tidak telah membuat perikatan itu jika tidak dilakukan
tipu-muslihat tersebut. Penipuan tidak dipersangkakan, tetapi harus
dibuktikan.”.
2.
PENGERTIN “KATA SEPAKAT”
Bahwa, Menurut Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman SH
dalam buku “Kompilasi Hukum Perikatan” halaman 74 menyatakan sebagai berikut :
“Pengertian
sepakat dilukiskan sebagai pernyataan kehendak yang disetujui (overeenstemende
wilsverklaring) antara para pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan
tawaran (offerte). Pernyataan pihak yang menerima tawaran dinamakan akseptasi
(acceptie)”
Bahwa, adapun teori-teori suatu
keadaan yang menyatakan “saat terjadi”nya kata sepakat dalam perjanjian adalah
sebagai berikut
a.
Teori Kehendak (wilstheorie)
Teori
ini mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak pihak penerima
dinyatakan, misalnya dengan menuliskan surat
b.
Teori Pengiriman
(verzendtheorie)
Teori
ini mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak yang dinyatakan
itu dikirim oleh pihak yang menerima tawaran
c.
Teori Pengetahuan (vernemingstheorie)
Teori
ini mengajarkan bahwa pihak yang menerima tawaran seharusnya sudah mengetahui
bahwa tawarannya diterima
d.
TeoriKepercayaan
(vertrouwenstheorie)
Teori
ini mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat pernyataan kehendak
dianggap layak diterima oleh pihak yang menawarkan
3.
KESEPAKATAN DIAM-DIAM (SILENCE
AGREMENT)
Bahwa, dengan adanya
kesepakatan berarti ada persesuaian kehendak yang bebas antara para pihak
mengenai hal-hal pokok yang diinginkan dalam perjanjian. Dalam hal ini, antara
para pihak harus mempunyai kemauan yang bebas (sukarela) untuk mengikatkan
diri, di mana kesepakatan itu dapat
dinyatakan secara tegas maupun diam-diam
Bahwa, adapun dasar hokum dari
perjanjian diam-diam dapat merujuk pada ketentuan Pasal 1347 KUHPerdata, yaitu
sebagai berikut :
“Hal-hal yang, menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan, dianggap
secara diam-diam dimasukkan dalam perjanjian, meskipun tidak dengan tegas
dinyatakan”
Bahwa, menurut J. Satrio dalam buku yang berjudul
“hokum perjanjian”, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1992 hlm 133, menyebutkan “dalam mengutarakan kehendak dapat dilakukan
secara tegas atau secara diam-diam, tertulis (melalui akte otentik atau dibawah
tangan) atau dengan tanda”
Bahwa, mengenai persetujuan
atau kesepakatan diam-diam, dapat merujuk pula pada yurisprudensi Mahkamah
Agung sebagai berikut :
1.
Putusan
Mahkamah Agung No. 1284 K/Pdt/1998 tanggal 18 Desember 2000 yang memiliki
pertimbangan hokum bahwa perjanjian
diam-diam membawa akibat yuridis bahwa perjanjian tersebut berlaku sebagai hokum
diantara para pihak
2.
Putusan
Mahkamah Agung No. 2178 K/Pdt/2008 yakni perkara antara PT. Dwi Damai dengan
PT. Philips Indonesia tentang pendistribusian dan penjualan produk-produk
bermerek Philips. Dalam pertimbangan hukum putusan disampaikan antara lain:
“...bahwa
setelah berakhirnya masa perjanjian kerja sama distributorship yang dimulai
pada tanggal 1 Januari 2002 dan berakhir pada tanggal 31 Desember 2003, kedua
belah pihak masih tetap melakukan perbuatan-perbuatan hukum yang dilaksanakan
beritikad baik (goeder trouw, bonafide) seperti transaksi-transaksi pemesanan
barang, pembayaran dan sebagainya, selayaknya perjanjian yang belum berakhir.
Hal ini adalah mencerminkan adanya faktor Simbiosis-mutualistis, yaitu para
pihak sama-sama membutuhkan peranan salah satu pihak. Dengan adanya perbuatan
hukum yang dilakukan berupa transaksi-transaksi perdagangan biasa, maka secara
diam-diam kedua belah pihak telah menyatakan sepakat untuk dan oleh karena itu
tunduk dan masuk kepada pembaharuan perjanjian distributorsbip tahap ke-2,
yakni sebagaimana yang tercantum dalam Surat Perjanjian (Vide Bukti P-l) bahwa
atas kesepakatan kedua belah pihak, perjanjian ini dapat diperbaharui untuk
jangka waktu 3 (tiga) tahun berikutnya yakni sampai dengan tanggal 31 Desember
2006;
“Dengan kesepakatan diam-diam itu, maka
berlaku mutlaklah asas konsensualitas (vide Pasal 1320 KUHPerdata) yang
merupakan kekuatan Undang-Undang bagi para pihak (vide Pasal 1338 KUHPerdata).”
3.
Arrest
Hoge Raad, HR. 29 Desember 1939, NJ. 1940, 274 yang pada pokoknya memberikan
kaidah hokum sebagai berikut :
“bahwa disepakatinya suati perjanjian bisa terjadi atas dasar perilaku
para pihak. Untuk menilai apakah dalam suatu peristiwa tertentu para pihak
secara diam-diam telah memberikan sepakatnya untuk memperpanjang perjanjian
yang telah berakhir, bias dilihat dari perilaku para pihak pada waktu sebelum
maupun sesudah perjanjian lama berakhir”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar