Senin, 17 September 2012

Kata Sepakat Dalam Perjanjian



KATA SEPAKAT DALAM PERJANJIAN

1.   SYARAT SAH PERJANJIAN
Bahwa, untuk syarat sah suatu perjanjian telah diatur sebagaimana ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata yang menyatakan sebagai berikut :
“Untuk sahnya persetujuan-persetujuan diperlukan syarat :
1.    Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2.    Cakap untuk membuat suatu perikatan
3.    Suatu hal tertentu
4.    Suatu sebab yang halal”

Bahwa, Kedua syarat yang pertama dinamakan syarat subjektif. Adapun cacat syarat subjektif yang pertama sebagaimana diatur dalam Pasal 1321 KUH Perdata,
“tidak ada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”.

Bahwa, Kekhilafan yang mengakibatkan batalnya suatu persetujuan, , sebagaimana dalam Pasal 1322 KUH Perdata:
“Kehilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu persetujuan selain apabila kekhilafan itu terjadi mengenai hakikat brang yang menjadi pokok persetujuan. Kehilafan tidak menjadi sebab kebatalan, jika kekhilafan itu hanya terjadi mengenai dirinya orang dengan siapa seorang bermaksud membuat suatu persetujuan, kecuali jika persetujuan itu telah dibuat terutama karena mengingat dirinya orang tersebut”.

Paksaan yang mengakibatkan batalnya suatu persetujuan, sebagaimana dalam Pasal 1323 KUH Perdata:
“Paksaan yang dilakukan terhadap orang yang membuat suatu persetujuan, merupakan alasan untuk batalanya persetujuan, juga apabila paksaan itu dilakukan oleh seorang pihak ketiga, untuk kepentingan siapa persetujuan tersebut tidak telah dibuat”.

Penipuan yang mengakibatkan batalnya suatu persetujuan, sebagaimana dalam Pasal 1328 KUH Perdata:
“Penipuan merupakan suatu alasan untuk pembatalan persetujuan, apabila tipu-muslihat yang dipakai oleh salah satu pihak, adalah sedemikian rupa hingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak telah membuat perikatan itu jika tidak dilakukan tipu-muslihat tersebut. Penipuan tidak dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan.”.


2.   PENGERTIN “KATA SEPAKAT”
Bahwa, Menurut Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman SH dalam buku “Kompilasi Hukum Perikatan” halaman 74 menyatakan sebagai berikut :
“Pengertian sepakat dilukiskan sebagai pernyataan kehendak yang disetujui (overeenstemende wilsverklaring) antara para pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (offerte). Pernyataan pihak yang menerima tawaran dinamakan akseptasi (acceptie)”
Bahwa, adapun teori-teori suatu keadaan yang menyatakan “saat terjadi”nya kata sepakat dalam perjanjian adalah sebagai berikut
a.    Teori Kehendak (wilstheorie)
Teori ini mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak pihak penerima dinyatakan, misalnya dengan menuliskan surat

b.    Teori Pengiriman (verzendtheorie)
Teori ini mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima tawaran

c.    Teori Pengetahuan (vernemingstheorie)
Teori ini mengajarkan bahwa pihak yang menerima tawaran seharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya diterima

d.   TeoriKepercayaan (vertrouwenstheorie)
Teori ini mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat pernyataan kehendak dianggap layak diterima oleh pihak yang menawarkan


3.   KESEPAKATAN DIAM-DIAM (SILENCE AGREMENT)
Bahwa, dengan adanya kesepakatan berarti ada persesuaian kehendak yang bebas antara para pihak mengenai hal-hal pokok yang diinginkan dalam perjanjian. Dalam hal ini, antara para pihak harus mempunyai kemauan yang bebas (sukarela) untuk mengikatkan diri, di mana kesepakatan itu dapat dinyatakan secara tegas maupun diam-diam
Bahwa, adapun dasar hokum dari perjanjian diam-diam dapat merujuk pada ketentuan Pasal 1347 KUHPerdata, yaitu sebagai berikut :
Hal-hal yang, menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan, dianggap secara diam-diam dimasukkan dalam perjanjian, meskipun tidak dengan tegas dinyatakan
Bahwa, menurut J. Satrio dalam buku yang berjudul “hokum perjanjian”, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1992 hlm 133, menyebutkan “dalam mengutarakan kehendak dapat dilakukan secara tegas atau secara diam-diam, tertulis (melalui akte otentik atau dibawah tangan) atau dengan tanda
Bahwa, mengenai persetujuan atau kesepakatan diam-diam, dapat merujuk pula pada yurisprudensi Mahkamah Agung sebagai berikut :
1.    Putusan Mahkamah Agung No. 1284 K/Pdt/1998 tanggal 18 Desember 2000 yang memiliki pertimbangan hokum bahwa perjanjian diam-diam membawa akibat yuridis bahwa perjanjian tersebut berlaku sebagai hokum diantara para pihak

2.    Putusan Mahkamah Agung No. 2178 K/Pdt/2008 yakni perkara antara PT. Dwi Damai dengan PT. Philips Indonesia tentang pendistribusian dan penjualan produk-produk bermerek Philips. Dalam pertimbangan hukum putusan disampaikan antara lain:
“...bahwa setelah berakhirnya masa perjanjian kerja sama distributorship yang dimulai pada tanggal 1 Januari 2002 dan berakhir pada tanggal 31 Desember 2003, kedua belah pihak masih tetap melakukan perbuatan-perbuatan hukum yang dilaksanakan beritikad baik (goeder trouw, bonafide) seperti transaksi-transaksi pemesanan barang, pembayaran dan sebagainya, selayaknya perjanjian yang belum berakhir. Hal ini adalah mencerminkan adanya faktor Simbiosis-mutualistis, yaitu para pihak sama-sama membutuhkan peranan salah satu pihak. Dengan adanya perbuatan hukum yang dilakukan berupa transaksi-transaksi perdagangan biasa, maka secara diam-diam kedua belah pihak telah menyatakan sepakat untuk dan oleh karena itu tunduk dan masuk kepada pembaharuan perjanjian distributorsbip tahap ke-2, yakni sebagaimana yang tercantum dalam Surat Perjanjian (Vide Bukti P-l) bahwa atas kesepakatan kedua belah pihak, perjanjian ini dapat diperbaharui untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun berikutnya yakni sampai dengan tanggal 31 Desember 2006;
Dengan kesepakatan diam-diam itu, maka berlaku mutlaklah asas konsensualitas (vide Pasal 1320 KUHPerdata) yang merupakan kekuatan Undang-Undang bagi para pihak (vide Pasal 1338 KUHPerdata).
3.    Arrest Hoge Raad, HR. 29 Desember 1939, NJ. 1940, 274 yang pada pokoknya memberikan kaidah hokum sebagai berikut :
bahwa disepakatinya suati perjanjian bisa terjadi atas dasar perilaku para pihak. Untuk menilai apakah dalam suatu peristiwa tertentu para pihak secara diam-diam telah memberikan sepakatnya untuk memperpanjang perjanjian yang telah berakhir, bias dilihat dari perilaku para pihak pada waktu sebelum maupun sesudah perjanjian lama berakhir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar