Jumat, 28 Oktober 2011

Gerakan Pro Bono Publico: Membangun Kehormatan Advokat

Pernahkah dalam satu bagian hidup, kamu merasa tertampar ? Aku mengalaminya minggu yang lalu. Dalam pertemuan setiap Jumat sore, PILNet mengundang narasumber untuk membahas issue-issue terkait public interest law- suatu saat saya akan mencoba menuliskan apa itu PIL-. Kali ini, tentang Pro Bono, dan dalam undangan disebutkan tujuannya “to clarified the concept of probono” . Sebagian besar fellow, berpendapat tidak membutuhkan session ini, karena bagaimanapun semuanya pengacara dan tentu memahaminya. Namun, semuanya berubah setelah Harshani, dari Australia memberikan presentasi dan berbincang dengan Marc R Kadish, Director of Probono Activities dari Kantor Hukum Mayer & Brown, yang membagi pengalamannya dalam gerakan probono di Amerika Serikat.
Ternyata, terdapat perbedaan dari konsep probono yang aku pahami selama ini dengan konsep yang berkembang. Aku merasa tertampar –tepatnya merasa bodoh- karena bagaimanapun aku telah menulis sejumlah tulisan tentang bantuan hukum, yaitu Panduan Bantuan Hukum di Indonesia (2007), bersama Tandiono Bawor menulis Panduan Bantuan Hukum untuk Paralegal (2010), 40 Tahun YLBHI: Mencari Magis Bantuan Hukum Struktural (2010) dan sejumlah makalah untuk advokasi bantuan hukum. Walau tidak ada yang salah dari semua yang ditulis, namun terdapat kesalahan dari cara berpikirku terkait dengan konsep probono dan legal aid.
Tapi,bukankah kebenaran akan pengetahuan itu memang relative? Dalam menulis, kebenaran adalah fakta dan pengetahuan yang dimiliki saat buah pikiran dituliskan. Dan karenanya, setiap orang, terutama penulis harus terus berdialektika dengan pengetahuan itu sendiri, dan menuliskannya kembali. Dalam konteks inilah, aku berkewajiban menuliskan pengetahuan yang buatku baru,-mungkin untuk yang lain sudah basi- untuk memperbaiki yang sebelumnya. Maka mulailah membaca ulang PP No. 83/2008, Peraturan Peradi No.1/2010 dan sejumlah literature, dan mengaitkannya dengan hal yang baru saja ditemui. Aku akan menuliskannya dalam tiga bagian, yaitu :

Bagian I :  Konsep Probono Publico
Bagian II : Mengenal Gerakan Probono di Amerika Serikat
Bagian III : Gerakan Probono di Indonesia
Dan dengan segala keterbatasan dan kegelisahan yang tersisa, selamat membaca dan mengoreksinya. 
***

Bagian I 
Konsep Probono Publico 
Pembukaan Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI) menyatakan bahwa advokat adalah suatu profesi terhormat (officium nobile). Kata “officium nobile” mengandung arti adanya kewajiban yang mulia atau yang terpandang dalam melaksanakan pekerjaan mereka. Serupa dengan ungkapan yang kita kenal “noblesse oblige”, yaitu kewajiban perilaku yang terhormat (honorable), murah-hati (generous), dan bertanggung jawab (responsible) yang dimiliki oleh mereka yang ingin dimuliakan. Dengan diangkatnya seseorang menjadi advokat,[i] maka ia telah diberi suatu kewajiban mulia melaksanakan pekerjaan terhormat, dengan hak eksklusif untuk : (a) menyatakan dirinya pada publik bahwa ia seorang advokat, (b) dengan begitu berhak memberikan nasihat hukum dan mewakili kliennya, dan (c) menghadap di muka sidang pengadilan dalam proses perkara kliennya. Akan tetapi, hak dan kewenangan istimewa ini juga menimbulkan kewajiban advokat kepada masyarakat, yaitu: (a) menjaga agar mereka yang menjadi anggota profesi advokat selalu mempunyai kompetensi pengetahuan profesi untuk itu, dan mempunyai integritas melaksanakan profesi terhormat ini, serta (b) oleh karena itu bersedia menyingkirkan mereka yang terbukti tidak layak menjalankan profesi terhormat ini.[ii]  Salah satu kewajiban advokat adalah memberi bantuan jasa hukum kepada mereka secara cuma-cuma (probono).
Namun apakah yang dimaksud dengan probono publico ? dan layanan hukum yang bagaimana yang dapat dikatakan sebagai probono publico, dan perbedaannya dengan legal aid, serta bagaimana probono dilakukan dikalangan advokat ? Tulisan ini mencoba menelusurinya dan bukan merupakan hasil final dari sebuah tulisan.                  

Empat Elemen Dasar Probono
Kata Pro Bono Publico berasal dari Bahasa Latin, yang artinya “for the public good”, untuk kepentingan masyarakat umum. Pro Bono lazim digunakan untuk kegiatan yang bersifat sukarela yang dilakukan oleh beberapa orang tanpa dibayar sama sekali, sebagai bentuk pelayanan kepada masyarakat. Gerakan ini, bukan hanya sekedar bersukarela dengan kemampuan seadanya untuk membantu masyarakat, tapi juga terdapat orang-orang dengan keahlian-keahlian professional tertentu. Dengan keahlian tersebut, maka gerakan ini bisa berkembang sesuai dengan spesifikasinya tertentu, misalkan designer, arsitek, dokter, dan tentunya advokat.

Dalam dunia hukum, probono menjadi salah satu strategi untuk membela kepentingan umum, selain legal aid. Pengertiannya sendiri merujuk pada “a very range of legal work that performed voluntarily and free of charge to underrepresented and vulnerable segments of society”[iii] Dari definisi ini, konsep probono meliputi empat elemen, dengan penjelasannya sebagai berikut :
1.      Meliputi seluruh kerja-kerja di wilayah hukum (Broad Range of Legal Work)
Kerja-kerja probono tidak terbatas pada mewakili kepentingan klien didalam sistem peradilan, tetapi meliputi seluruh    wilayah dimana hukum bekerja. Mulai dari penelitian, pendidikan hukum, proses legislasi sampai pada proses-proses pemberdayaan hukum. Dalam konteks ini, advokat dapat mengambil peran dari hulu ke hilir, sepanjang hukum bekerja.
Namun, sebagian masih menilai bahwa probono yang dilakukan Advokat adalah di ruang pengadilan. Ini tidak dapat dilepaskan dari pandangan bahwa Advokat dengan keahlian profesionalnya, haruslah bersifat netral dan mengambil jarak. Disisi lain, terdapat pandangan bahwa Advokat seharusnya merupakan bagian dari gerakan sosial. Pemisahan advokat dari gerakan sosial inilah yang kemudian menyempitkan pengertian probono.

Untuk Indonesia, luasnya lingkup probono, dapat dilihat dari rumusan Pasal 6 Peraturan Peradi No.1 Tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberi Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma (selanjutnya disebut Peraturan Peradi), yaitu :
(1) Pemberian bantuan hukum dimuka pengadilan adalah bantuan hukum litigasi yang meliputi seluruh rangkaian proses peradilan baik itu dalam perkara perdata, pidana, atau tata usaha negara, termasuk dalam proses pelaporan dan pemeriksaan di kepolisian dan penuntutan di kejaksaan dalam perkara pidana;
(2) Pemberian bantuan hukum di luar pengadilan meliputi antara lain pendidikan hukum,investigasi kasus, konsultasi hukum, pendokumentasian hukum,penyuluhan hukum, penelitian hukum (legal drafting), pembuatan pendapat/catatan hukum (legal opinion/legal anotasi), pengorganisasian, penyelesaian sengketa di luar pengadilan, pemberdayaan masyarakat serta seluruh aktivitas yang bersifat memberi kontribusi bagi pembaharuan hukum nasional termasuk pelaksanaan piket bantuan hukum.


2. Sukarela (Voluntary)
Probono bersifat sukarela, dalam arti seorang advokat dapat memilih kasus-kasus yang akan dikerjakannya sesuai dengan hati nurani, keahlian dan alasan-lasan yang dibenarkan. Namun, walau bersifat sukarela, organisasi advokat dapat menentukan batas minimal pemberian kerja probono di setiap tahunnya. American Bar Association (ABA) menetapkan  minimal  50 jam kerja setiap tahunnya, sementara  Newyork Bar Association menentukan minimal 20 jam kerja setiap tahunnya. Dan nampaknya Peradi mengacu pada ABA yang menganjurkan 50 jam kerja setiap tahunnya.[iv]


3.      Cuma-Cuma (Free of Charge)
Untuk melaksanakan probono, Advokat melakukannya dengan cuma-cuma. Sering muncul pertanyaan, apakah cuma-cuma disini adalah hanya untuk honorarium saja ? seperti kita ketahui minimal terdapat 6 komponen dalam menggunakan jasa Advokat yaitu : (1) biaya jasa/honorarium advokat; (2) biaya transport; (3) biaya akomodasi; (4) biaya perkara; (5) biaya sidang dan (6) biaya kemenangan perkara (success fee) yang besarnya antara 5-20 persen[v]. Untuk probono, seluruh komponen tersebut, harus gratis. Pengacara baru dapat meminta pergantian biaya untuk salah satu komponen dalam konteks konsep “legal aid”. Untuk probono, semuanya gratis.


4.      Untuk Masyarakat yang kurang terwakili dan rentan (Underrepresented and Vulnerable)
Kurang terwakili dapat diartikan mereka yang marginal. Sedangkan kelompok rentan, merujuk pada UU HAM adalah kelompok yang karena kondisi sosial budaya memiliki hambatan, seperti perempuan, anak, kelompok difable dan masyarakat adat. Sasaran ini bisa dilihat dari definisi pencari keadilan dalam Peraturan Peradi yaitu “orang perseorangan atau sekelompok orang yang secara ekonomis tidak mampu, termasuk kelompok lemah secara sosial politik, sehingga kesempatannya untuk mendapatkan bantuan hukum tidak sama dengan anggota masyarakat lainnya”. Dan secara khusus, Peraturan Peradi memberikan afirmative untuk memberikan bantuan hukum seluas-luasnya kepada perempuan, anak-anak,buruh migran, dan masyarakat adat dan korban pelanggaran HAM berat. Dari elemen ini, maka kita tidak dapat mengatakan bahwa seorang Advokat memberikan layanan probono pada seorang pesohor untuk kasus narkoba atau perkelahian.
Dari empat elemen dasar tersebut, apa bedanya dengan legal aid ? para fellow yang umumnya bekerja di NGO dengan rentang issue yang beragam, menyatakan bahwa empat elemen dasar tersebut adalah “legal aid”. Melalui proses diskusi yang cukup panjang, ternyata penerapan istilah tersebut tidaklah tepat. Legal aid merujuk pada pengertian “state subsidized”, pelayanan hukum yang dibiayai atau disubsidi oleh negara.
Untuk menentukan apakah itu probono atau legal aid, para narasumber memberikan setidaknya dua pertanyaan dasar sebagai alat test, yaitu :
  1. Apakah pelayanan hukum diberikan secara cuma-cuma ?
  2. Apakah kalian mendapatkan subsidi/gaji dari negara untuk menangi kasus ?
Semuanya menjawab bahwa pelayanan hukum yang diberikan adalah cuma-cuma, dalam artian tidak membebankan biaya kepada pencari keadilan, dan mendapatkan gaji dari organisasi/NGO yang bersumber dari lembaga donor/NGO Internasional, yang dananya bisa saja berasal dari lawfirm internasional.
“That’s probono !” Ed Rekosh menjawabnya pasti sambil tersenyum.
Keduanya, baik Probono dan Legal Aid, merupakan strategi untuk memberikan pelayanan hukum (legal services) bagi kepentingan publik. Pekerjaan probono bukanlah penganti dari sistem bantuan hukum yang dibangun negara, tetapi ikut mendukungnya, khususnya untuk kalangan yang tidak terjangkau layanan hukum negara. Pada umumnya, layanan  hukum lebih banyak dilakukan oleh kalangan masyarakat sipil. Namun, negara tetap memiliki kewajiban konstitusi untuk membangun sistem bantuan hukumnya. Maka, kemudian dapat aku dapat memahami ketika seseorang mendengar kata “Legal Aid Institute”, sebagian berasumsi bahwa pelayanan hukum yang diberikan mendapatkan subsidi pembiayaan dari negara.
Kesimpangsiuran penerapan istilah diurai oleh Erin Carll, dengan menulis  LEGAL AID ≠ legal aid. Istilah LEGAL AID dalam artian konsep/sistem layanan hukum oleh negara, tidaklah sama dengan  “legal aid” dari terjemahan “memberikan bantuan (aid) hukum (legal)”. Untuk mudahnya banyak lembaga di negara dunia menyebut dirinya “lembaga bantuan hukum” karena lebih mudah diingat dan dipahami yaitu lembaganya memberikan bantuan (help/aid) di bidang hukum. Namun secara konsep, layanan hukum yang diberikan advokat  ataupun NGO tersebut ada pada konsep probono.
Lantas apakah advokat dapat terlibat dalam Legal Aid ? Advokat tentunya tetap dapat terlibat dengan “minimum payment”  dalam arti, ia berhak mendapatkan pergantian biaya pelayanan hukumnya dari negara. Dan di Indonesia, khususnya pengadilan, memberikan subsidi sebesar Rp.500.000,-/kasus kepada Advokat yang memberikan layanan hukum kepada masyarakat tidak mampu. Dalam konteks ini, maka yang dilakukan negara adalah benar yaitu memberikan subsidi terhadap layanan jasa hukum.
Dan dalam konteks probono, Pasal 13 PP Nomor 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma menyatakan bahwa “ Advokat dalam memberikan Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma dilarang menerima atau meminta pemberian dalam bentuk apapun dari Pencari Keadilan”. Dari komponen konsep probono, maka ketentuan pasal 13 ini adalah on the track. Namun, jika kita melihat Peraturan Peradi terdapat “kesesatan” terkait pembiayaan ini, yaitu Pasal 3 sebagai berikut :
  1. Advokat dalam pemberian bantuan hukum secara Cuma-Cuma dilarang untuk menerima dana untuk kepentingan apapun dari pencari keadilan yang tidak mampu;
  2. Dana-dana bantuan hukum yang berasal dari negara atau dari lembaga bantuan hukum, yang diberikan kepada Advokat dalam rangka memberikan bantuan hukum kepada pencari keadilan yang tidak mampu tidak dihitung sebagai pembayaran honorarium
Ketentuan dalam pasal 3 ayat (2), apakah tepat diletakkan dalam konsep probono ? bukankah subsidi berada dalam konteks “Legal Aid”?

Sementara RUU Bantuan Hukum yang akan segera disahkan, mengatur sistem pendanaan “Legal Aid”nya sebagai berikut :
Pasal 16
(1) Pendanaan bantuan hukum yang diperlukan dan digunakan untuk penyelenggaraan Bantuan Hukum sesuai dengan Undang-Undang ini dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
(2) Selain pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sumber pendanaan Bantuan Hukum dapat berasal dari: hibah atau sumbangan; dan/atau sumber pendanaan lain yang sah dan tidak mengikat.

Pasal 16 ayat (1) berada dalam track pengertian “Legal Aid”, bagaimana dengan ayat 2 nya ? Bukankah ayat tersebut untuk membenarkan negara mencari peluang pembiayaan dari sumber bukan negara, seperti lembaga donor ataupun perusahaan ? Apakah tepat ayat 2 tersebut dalam layanan hukum dalam artian Legal Aid ?
Sebagai advokat saya lebih memilih memberikan probono, timbang terlibat dalam Legal Aid. Pasal 20 RUU Bantuan Hukum, memberikan larangan dan sanksi kepada pemberi bantuan hukum, yang menerima atau meminta pembayaran dari Penerima Bantuan Hukum dan/atau pihak lain. Sanksinya cukup berat, yaitu : dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Pertanyaannya, apakah negara akan membiayai seluruh komponen jasa layanan hukum pengacara secara langsung ? ataukah menghapuskan komponen biaya sidang dan biaya perkara secara otomatis di seluruh pengadilan dan memberikan minimum payment untuk pengacara ?
Walau tujuan dari pasal ini adalah agar Pemberi Bantuan Hukum/Advokat tidak “kiri-kanan OK”, yaitu menikmati uang negara, sekaligus meminta biaya jasanya dari pencari keadilan, tetapi  pasal inipun berpotensi untuk digunakan sebagai alat ‘mengkriminalkan’ Pemberi Bantuan Hukum/Advokat. Usulan ILRC untuk menerapkan sanksi berjenjang seperti teguran, pemutusan kontrak, sampai penurunan akreditasi lembaga nampaknya tidak menjadi pertimbangan 

Bagaimana Probono Bekerja 
Lantas, bagaimana probono bekerja ? Seorang advokat bisa memberikan layanan probono secara individual maupun melalui kantor hukumnya. Secara umum, kantor hukum melakukan probono, dengan cara antara lain :
  1. Probono Practise; Kerja-kerja probono menjadi bagian dari kerja-kerja kantor hukum. Di Amerika, kantor hukum diminta memberikan komitmennya 3-5 % dari jam kerjanya untuk kerja probono. Jika kita mengunjungi website kantor hukum, maka akan dapat diketahui kapan kantor hukum tersebut menandatangani komitmen dan berapa besar komitmen yang diberikannya. Setiap tahunnya ABA mengeluarkan rangking law firm yang memberikan layanan pro bono bagi masyarakat marginal dan rentan.
  2. Specialist Pro Bono Lawyers; Kantor hukum memiliki advokat yang bertugas memberikan supervisi terhadap seluruha kerja-kerja probono di kantor hukumnya 
  3. Inhouse Counsel; Kantor hukum membentuk satu departemen khusus untuk probono.
  4. Outreach Services; Kantor hukum bekerjasama dengan komunitas masyarakat/organisasi kemasyarakatan untuk memberikan layanan hukum. Misalkan di bulan Oktober, terdapat satu minggu yang diperuntukkan untuk probono, dimana para Advokat selama seminggu datang ke wilayah tertentu  untuk memberikan layanan hukum.
  5. Secondment ; Seorang Advokat bekerja penuh atau paruh waktu pada organisasi masyarakat.
Pelayanan yang diberikan tidak hanya dalam konteks litigasi, namun dapat pula meliputi 1) Penelitian dan perbandingan hukum international; 2) Strategi hukum and  design program; 3) pendidikan hukum; 4) Pendidikan hukum masyarakat/komunitas. Dengan mengetahui bagaimana probono bekerja, kalangan LSM/Komunitas –yang juga probono- dapat membangun kerjasama untuk membangun perubahan sosial. Kalangan organisasi masyarakat/NGO bisa meminta Advokat untuk memberikan pelatihan, melakukan penelitian, sampai membangun strategi advokasi bersama. Aku teringat saat membuat English for Lawyers, dengan pelatih dua orang Advokat Amerika, mereka tidak bersedia untuk menerima honorarium. Mereka menjadikannya sebagai bagian dari probono. Jika kita bisa menerapkannya, mungkin PKPA tidak akan semahal saat ini ? Bukankah mengajar di kelas PKPA seharusnya probono ? dan yang utama makin banyak orang miskin melek hukum dan terbantu.
Untuk memahami bagaimana probono bekerja di lawfirm, aku tengah mencoba membaca dan memamah kumpulan tulisan dari kantor-kantor hukum yang memberikan layanan probono, judulnya Probono Service By In-House Counsel ,  di halaman awal tertulis : 

"This book is dedicated to the thousands of lawyers who give so freely of their time to pro bono work. It is inspiring to be part of a profession where so many selflessly attend to the needs and interests of others....
dan aku teringat teman-teman, entah mereka yang menyebut pendamping hukum rakyat, pembela umum ataupun advokat publik, yang tak lelah memberikan layanan probono. Aku menangis. Hormatku untuk mereka.

NY,23 September 2011 by : SII AMINAH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar