Sabtu, 29 Oktober 2011

TINJAUAN YURIDIS PERBUATAN MALPRAKTIK DI BIDANG KESEHATAN




Kesehatan merupakan salah satu hal  yang paling penting yang dimiliki oleh manusia, karena dengan sehat maka seorang manusia dapat mengerjakan segala aktifitasnya dengan lancar.        
Akan tetapi meskipun begitu, seorang tenaga medis seperti dokter, terdapat pula kemungkinan terjadinya kesalahan dalam mendiagnosa penyakit seorang pasien sehingga menyebabkan kesalahan penanganan penyakit pasien tersebut, kemudian bila dipersalahkan maka siapakah yang patut bertanggung jawab…apakah dokter yang dikarenakan kesalahan diagnosa nya..?? ,  atau kah sepenuhnya tanggung jawab pasien karena telah mempercayai penanganan penyakitnya kepada dokter yang bersangkutan…??
Fakta hokum yang sering terjadi pada masyarakat, adalah begitu banyaknya praktek-praktek kedokteran yang merugikan masyarakat, apakah kita masih mengingat beberapa tahun lalu terhadap kasus Prita Mulyasari, kasus si kembar Jared dan Jayden, kasus Dr. Salman, atau kah nanti anda selanjutnya yang akan menjadi korban..?....
Pada kesempatan ini saya mencoba melakukan memberikan pemahaman hokum atas perbuatan malpraktik tersebut, karena diharapkan kita selaku pasien  mengetahui hak  dan kewajiban kita, adapun pemahaman tersebut saya tuangkan dalam artikel saya  dalam suatu tinjauan yuridis terhadap perbuatan hokum malpraktik dalam bidang kesehatan dan unsur-unsur terkait lainnya.

PERLUNYA DOKUMEN “ISI REKAM MEDIS” SEBAGAI DASAR PEMBUKTIAN
Bahwa, pada dasarnya seorang pasien memiliki hak untuk mengetahui kondisi kesehatannya berdasarkan penangan medis yang dilakukan oleh dokter selaku salah satu tenaga kesehatan, sebagaimana ketentuan pasal 7 dan pasal 8 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, sebagai berikut :
Pasal 7
“Setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi dan edukasi tentang kesehatan yang seimbang dan bertanggung  jawab.” 
Pasal 8
“Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data  kesehatan dirinya termasuk tindakan dan pengobatan  yang  telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan.” 

informasi kesehatan pasien tersebut terdapat dalam dokumen medis yang disebut sebagai “Rekam Medis”.  Adapun Isi Rekam Medis merupakan hak mutlak milik Pasien yang diberikan berdasarkan undang-undang untuk kapan saja dan dapat dimintakan kepada petugas tenaga kesehatan demi kepentingan kesehatan pasien sendiri, karena dengan rekam medis seorang pasien dapat mengetahui kondisi kesehatannya sendiri.
Adapun definisi “Rekam Medis” menurut Penjelasan Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang No 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran  adalah :
“Berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan, dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien.

Berikut ini beberapa aturan perundangan yang menegaskan kedudukan Rekam Medis yaitu adalah sebagai berikut :
-      Ketentuan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, yang menyebutkan :
(1)    Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran wajib membuat rekam medis.
(2)    Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus segera dilengkapi setelah pasien selesai menerima pelayanan kesehatan.
(3)   Setiap catatan rekam medis harus dibubuhi nama, waktu, dan tanda tangan petugas yang memberikan pelayanan atau tindakan.”

-      Ketentuan Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, menyebutkan :
Dokumen rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 merupakan milik dokter, dokter gigi, atau sarana pelayanan kesehatan, sedangkan isi rekam medis merupakan milik pasien.

-      Ketentuan Pasal 52 huruf (a) dan (e) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, menyebutkan :
Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran mempunyai hak:
a.    mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3)”;
e. mendapatkan isi rekam medis.

Kedudukan Rekam Medis yang begitu penting dalam proses  pembuktian agar terungkap kebenaran dalil-dalil maupun fakta-fakta hukum. Berikut ini dasar hukum dan pendapat para ahli yang melandasinya :   
Pasal 13 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam Medis menyebutkan
Pemanfaatan Rekam Medis dapat dipakai sebagai :
a.    Pemeliharaan kesehatan dan pengobatan pasien;
b.    Alat bukti dalam proses penegakan hukum, disiplin kedokteran dan kedokteran gigi dan penegakan etika kedokteran dan etika kedokteran gigi;

Bahwa menurut Prof. dr. Ratna Suprapti Samil dalam bukunya ”ETIKA KEDOKTERAN INDONESIA”, Tahun 2001, hlm. 68-69 menyebutkan :
Apabila salah satu pihak bersengketa dalam suatu acara pengadilan menghendaki pengungkapan isi rekam medis dalam sidang, ia meminta perintah dari pengadilan kepada RS yang menyimpan rekam medis tersebut. RS yang menerima perintah tersebut wajib memenuhi dan melaksanakannya”.
Serta Menurut Pendapat Ahli Hukum Medis Y. A. Triana Ohoiwutun, S.H., M.H. dalam bukunya ”Bunga Rampai Kedokteran”, hlm. 34 menyebutkan :
Di bidang hukum perdata, rekam medis dapat dipergunakan sebagai dasar pembuktian apabila terjadi gugatan ganti kerugian terhadap tenaga kesehatan atas dugaan malpraktek medis”.
Apabila seorang dokter tidak membuat rekam medis milik pasien ketika memeriksa kondisi seorang pasien maka dokter tersebut dapat dikenakan ketentuan pidana sebagaimana ketentuan Pasal 79 Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran, yang menyebutkan :
“Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), setiap dokter atau dokter gigi yang :
a.     dengan sengaja tidak memasang papan nama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1);
b.     dengan sengaja tidak membuat rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1); atau
c.     dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e.”


PELAYANAN PASIEN HARUS SESUAI DENGAN STANDAR PELAYANAN KEDOKTERAN DAN KODE ETIK KEDOKTERAN
Ketentuan Peraturan Mentri Kesehatan (Permenkes) Nomor 1438/MENKES/PER/IX/2010 tentang Standar Pelayanan Kedokteran  dan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 43/MENKES/SK/X/I993 atau disebut sebagai Kode Etik Kedokteran Indonesia (berdasarkan Surat Keputusan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) No. 221 /PB/A.4/04/2002 Tentang Penerapan Kode Etik Kedokteran Indonesia), pada dasarnya merupakan suatu pedoman yang dibuat dan disusun untuk dijadikan landasan bekerja ketika interaksi terjadi antara dokter, perawat dan pasiennya, sehingga pedoman tersebut wajib diikuti oleh dokter atau dokter gigi yang melakukan praktek kedokteran, sebagaimana ketentuan Pasal 1 butir (1) Peraturan Mentri Kesehatan (Permenkes) Nomor 1438/MENKES/PER/IX/2010 tentang Standar Pelayanan Kedokteran, yang menyebutkan :
Standar Pelayanan Kedokteran adalah pedoman yang harus diikuti oleh dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktik kedokteran”

Kode etik kedokteran merupakan suatu norma etik seorang dokter yang apabila dilanggar hanya akan membawa akibat sanksi moral bagi pelanggarnya. Namun suatu pelanggaran etik profesi dapat dikenai sanksi disiplin profesi oleh organisasi profesi kedokteran, sesuai dengan ketentuan Pasal 2 Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 43/MENKES/SK/X/I993, sebagai berikut :
“Seorang dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dokter”

Adapun penjelasan pasal 2 tersebut adalah sebagai berikut :
“Yang dimaksud dengan ukuran tertinggi dalam melakukan profesi kedokteran mutakhir, yaitu yang sesuai dengan perkembangan IPTEK Kedokteran, etika umum, etika kedokteran, hukum, dan agama, sesuai dengan tingkat/jenjang pelayanan kesehatan, serta kondisi dan situasi setempat”

Berdasarkan ketentuan pasal 2 Peraturan Mentri Kesehatan (Permenkes) Nomor 1438/MENKES/PER/IX/2010 tentang Standar Pelayanan Kedokteran yang mengatur tentang Tujuan Penyusunan Standar Pelayanan Kedokteran, adapun tujuan tersebut adalah sebagai berikut :
Penyusunan Standar Pelayanan Kedokteran bertujuan untuk:
a.    Memberikan jaminan kepada pasien untuk memperoleh pelayanan kedokteran yang berdasarkan pada nilai ilmiah sesuai dengan kebutuhan medis pasien;
b.     Mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan kedokteran yangdiberikan oleh dokter dan dokter gigi.”

Standar Pelayanan Kedokteran pun harus memiliki kriteria sebagaimana tercantum dalam Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) dan Standar Prosedur Operasional (SPO), hal ini ditegaskan berdasarkan ketentuan pasal 3 ayat (1) Peraturan Mentri Kesehatan (Permenkes) Nomor 1438/MENKES/PER/IX/2010 tentang Standar Pelayanan Kedokteran :
(1)  Standar Pelayanan Kedokteran meliputi Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) dan Standar Prosedur Operasional (SPO).”

Ketentuan mengenai Pedoman Nasional PelayananKedokteran (PNPK) diatur pula dalam ketentuan pasal 6 dan pasal 7 Peraturan Mentri Kesehatan (Permenkes) Nomor 1438/MENKES/PER/IX/2010 tentang Standar Pelayanan Kedokteran, adalah sebagai berikut :
Pasal 6
“PNPK disusun oleh sekelompok pakar yang dapat melibatkan profesi kedokteran,kedokteran gigi atau profesi kesehatan lainnya, atau pihak lain yang dianggap perludan disahkan oleh Menteri.”
Pasal 7
“PNPK memuat penyataan yang dibuat secara sistematis yang didasarkan pada buktiilmiah (scientific evidence) untuk membantu dokter dan dokter gigi serta pembuat keputusan klinis tentang tata laksana penyakit atau kondisi klinis yang spesifik.”

Ketentuan penyusunan Standar Prosedur Operasional (SPO) diatur pula dalam ketentuan pasal 10 ayat (4) dan pasal 11 Peraturan Mentri Kesehatan (Permenkes) Nomor 1438/MENKES/PER/IX/2010 tentang Standar Pelayanan Kedokteran, adalah sebagai berikut :
Pasal 10
(4)      SPO disusun dalam bentuk Panduan Praktik Klinis (clinical practice guidelines) yang dapat dilengkapi dengan alur klinis (clinical pathway), algoritme, protokol,prosedur atau standing order

Pasal 11
“SPO disusun oleh staf medis pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dikoordinasioleh Komite Medis dan ditetapkan oleh Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan”

Berdasarkan keterangan pada poin sebelumnya terkait pedoman standar pelayanan, maka seorang dokter harus dapat memberikan pelayanan terbaik bagi para pasiennya karena seorang dokter akan selalu berinteraksi dengan orang lain yang membutuhkan jasanya dalam memeriksa, mendiagnosa dan berusaha menyembuhkan penyakit pasien, sehingga sudah sepatutnya dokter pun bekerja sesuai profesinya dengan tetap menghormati hak-hak pasien, sebagaimana ketentuan pasal 24 ayat (1) Undang-Undang No. 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan, dan pasal 7a dan pasal 7c Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 43/MENKES/SK/X/I993 atau disebut juga sebagai Kode Etik Kedokteran Indonesia, yang menyatakan:
Pasal 24
(1)    Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 harus memenuhi ketentuan kode etik, standar  profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar  pelayanan, dan standar prosedur operasional. 

Pasal 7a
Seorang dokter harus dalam setiap praktik medisnya, memberikan pelayanan medis yang kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang (compassion) dan penghormatan alas martabat manusia

Pasal 7c
Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan hak tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien

Apabila seorang dokter melakukan suatu kesalahan ataupun kelalaian dalam memeriksa, mendiagnosa dan menyembuhkan penyakit pasien tanpa prosedur yang sesuai dengan SPK tanpa mengindahkan kode etiknya maka mereka pun dapat dikenakan tindakan disiplin dari majelis disiplin tenaga kesehatan akan tetapi sbelum itu harus dilakukan terlebih dahulu upaya mediasi, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 29 ayat Undang No. 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan
Pasal 29
Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian  dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus  diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi.

Kepatuhan terhadap SPK dan kode etik dalam menangani pasien merupakan suatu kewajiban yang harus dipenuhi oleh seorang dokter, sebagaimana ketentuan pasal 13 Peraturan Mentri Kesehatan (Permenkes) Nomor 1438/MENKES/PER/IX/2010 tentang Standar Pelayanan Kedokteran, yaitu sebagai berikut :
“Dokter dan dokter gigi serta tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatanharus mematuhi PNPK dan SPO sesuai dengan keputusan klinis yang diambilnya”

Hal ini dikarenakan pelanggaran yang dapat dikenakan terhadap dokter apabila melanggar SPK dan Kode Etik Kedokteran, sebagaimana ketentuan pasal 14, Peraturan Mentri Kesehatan (Permenkes) Nomor 1438/MENKES/PER/IX/2010 tentang Standar Pelayanan Kedokteran, dan penerapan sanksi oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia sebagaimana ketentuan pasal 69 Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, yaitu sebagai berikut :
Pasal 14
(1)               Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah DaerahKabupaten/Kota bersama dengan organisasi profesi melakukan pembinaan danpengawasan terhadap pelaksanaan standar pelayanan kedokteran ataukedokteran gigi.
(2)                Dalam rangka pembinaan dan pengawasan, Menteri, Pemerintah DaerahProvinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangan masing-masing dapat mengambil tindakan administratif.
(3)                Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa:
a.    teguran lisan,
b.    teguran tertulis, atau
c.    pencabutan izin.





Pasal 69

(1)       Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia mengikat dokter, dokter gigi, dan Konsil Kedokteran Indonesia.
(2)       Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1 ) dapat berupa dinyatakan tidak bersalah atau pemberian sanksi disiplin.
(3)       Sanksi disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa :
a.     pemberian peringatan tertulis;
b.     rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktik; dan/atau
c.     kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi.

Apabila terdapat indikasi adanya tindak pidana kesehatan, maka pasien dapat melaporkannya kepada pihak Kepolisian Republik Indonesia, sebagaimana ketentuan pasal 189 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, sebagaimana beriktu :
Pasal 189
(1)   Selain penyidik polisi negara Republik Indonesia, kepada  pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan pemerintahan yang menyelenggarakan urusan di bidang kesehatan juga diberi wewenang khusus sebagai  penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang  Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana  untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang  kesehatan.
(2)   Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
a.    melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan  serta keterangan tentang tindak pidana di bidang kesehatan;
b.    melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga  melakukan tindak pidana di bidang kesehatan;
c.    meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana di bidang kesehatan;
d.   melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang tindak pidana di bidang kesehatan;
e.     melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam perkara tindak pidana di bidang kesehatan;
f.     meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang kesehatan; 
g.    menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang membuktikan adanya tindak pidana di bidang kesehatan.
(3)   Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)  dilaksanakan oleh penyidik sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Hukum Acara Pidana.


UNSUR PERBUATAN MELAWAN HUKUM
Dengan adanya kesalahan ataupun kelalaian dalam memeriksa, mendiagnosa dalam usahanya untuk menyembuhkan penyakit pasien tanpa prosedur dan mekanisme yang sesuai sehingga merugikan kesehatan pasien, merupakan bentuk perbuatan melanggar hukum, sebagaimana ketentuan 1365 KUHPerdata yang menyatakan
“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut
  
Dengan adanya kerugian tersebut maka pasien dapat meminta pertanggungjawaban kerugian sebagai akibat kelalaian pihak dokter tersebut, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal  1366 KUHPerdata, Pasal 1371 KUHPerdata, dan pasal 19 ayat 1 Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, adapun ketentuan adalah sebagai berikut :
Pasal 1366
Setiap orang bertanggung-jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatiannya

Pasal 1371
Penyebab luka atau cacatnya sesuatu anggota badan dengan sengaja atau karena kurang hati-hati memberikan hak kepada si korban untuk selain penggantian biaya-biaya penyembuhan, menuntut penggantian kerugian yang disebabkan oleh luka atau cacat tersebut. Juga penggantian kerugian ini dinilai menurut kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak, dan menurut keadaan

Pasal 19
(1)      Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan

Selain itu pihak rumah sakit pun merupakan pihak terkait yang turut serta harus menanggung kerugian yang dialami oleh pasien atas kelalaian dokter yang bekerja pada rumah sakit tersebut, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1367 KUHPerdata dan Pasal 46 Undang-Undang No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit, adapun ketentuan adalah sebagai berikut :
Pasal 1367
Seorang tidak saja bertanggungjawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya

Pasal 46
“Rumah Sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit”

Adapun permintaan ganti rugi terhadap pihak yang merugikan pasien merupakan hak dari pasien sebagai konsumen jasa, dalam hal ini jasa profesi dokter, adapun hak tersebut diatur dalam ketentuan pasal 58 ayat (1) Undang-Undang No. 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan dan ketentuan pasal 4 poin (i) Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, sebagai berikut :
Pasal 58
(1)   Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap  seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan  atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang  diterimanya. 

Pasal 4 poin (i)
“Hak konsumen adalah :
i.          Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

Bentuk kerugian yang dapat dimintakan oleh pasien sebagai konsumen kepada dokter dan rumah sakit adalah berupa ganti kerugian materil dan immateril, sesuai ketentuan pasal 19 ayat 2 Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, sebagai berikut :
(2)      Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.”

UNSUR PIDANA “MALPRAKTEK
suatu perbuatan atas tindakan kelalaian medik merupakan suatu perbuatan pidana sebagaimana ketentuan Pasal 359, pasal 360 Ayat 1 KUHP jo pasal 361 KUHP, yang menyatakan
Pasal 359
Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.

Pasal 360
(1)   “Barang siapa karena kesalahannya (kealpaanya) menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun

Jo.
Pasal 361
Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pencaharian, maka pidana ditambah dengan sepertiga dan yang bersalah dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencaharian dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat memerintahkan supaya putusannya diumumkan

Adapun unsur Pasal 360 ayat (1) KUHP adalah sebagai berikut :
a.    Barang siapa karena kesalahannya (kealpaanya)
Bahwa, menurut Roeslan Saleh pada buku “Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana” yang mengikuti pendapat Moelijatno mengatakan :
“Bahwa pertanggungjawabn pidana adalah kesalahan, sedangkan unsur-unsur kesalahan adalah :
1)    Mampu bertanggung jawab
2)    Mempunyai kesengajaan atau kealpaan
3)    Tidak adanya alasan pemaaf”

Sedangkan dalam Memorie van Toelichting(M.v.t) memberikan keterangan apa yang dimaksud dengan kelalaian atau kealpaan itu, yaitu :
Kealpaan itu, disatu pihak merupakan kebalikan sesungguhnya dari kesengajaan, dan lain pihak merupakan kebalikan dari suatu kebetulan”

dalam buku “Hukum Pidana” karangan Satochid Kartanegara, pada halaman 343, menyatakan :
“Van Hammel mengatakan bahwa yang menjadi unsur-unsur kealpaan adalah :
1)    Tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan oleh hukum.
2)    Tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum”  

terkait kealpaan yang dilakukan oleh seorang tenaga medis dalam hal ini adalah seorang dokter maka menurut pendapat Fred Ameln (Ameln, Fred, 1991) mengatakan
“Seorang dokter atau dokter gigi yang menyimpang dari standar profesi dan melakukan kesalahan profesi belum tentu melakukan malpraktik medis yang dapat dipidana, malpraktik medis yang dipidana membutuhkan pembuktian adanya unsur “culpa lata” atau kelalaian berat dan pula berakibat fatal atau serius;


b.    Menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat
Bahwa, KUHP telah memiliki kriteria-kriteria sebagai apa yang dimaksud dengan “Luka Berat”, sebagaimana terdapat pada ketentuan pasal 90 KUHP, adapun kriteria tersebut adalah sebagai berikut :
“Luka berat berarti:
1.    Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut;
2.    Tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencarian;
3.    Kehilangan salah satu pancaindera;
4.    Mendapat cacat berat;
5.    Menderita sakit lumpuh;
6.    Terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih;
7.    Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.”;

c.    Pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun

Adapun unsur pasal 361 KUHP adalah sebagai berikut :
a.    Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pencaharian
b.    pidana ditambah dengan sepertiga, dan
c.    pencabutan haknya untuk menjalankan pencaharian dalam mana dilakukan kejahatan
d.    hakim dapat memerintahkan supaya putusannya diumumkan

ketentuan pasal 361 KUHP merupakan pasal yang dikenakan kepada mereka yang dikualifikasikan dengan pemberatan ancaman pidananya bila dilakukan dalam rangka melakukan pekerjaannya, dalam hal ini merupakan tanggung jawab profesi dokter sebagaimana ketentuan Pasal 1 butir (1) dan butir (2) Undang-Undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, adalah sebagai berikut :

1.          “Praktik kedokteran adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi terhadap pasien dalam melaksanakan upaya kesehatan.
2.          Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”


selain ketentuan didalam KUHP, dokter yang tidak dapat memberikan pelayanan medis sesuai dengan Standar Profesi dan Standar Prosedur Operasional serta kebutuhan medis pasien sebagaimana kewajibannya terhadap pasien sesuai ketentuan Pasal 51 poin (a) Undang-Undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktek kedokteran adalah sebagai berikut
“Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban :
a.     memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien;

Berdasarkan hal tersebut maka seorang dokter dapat dikenakan ketentuan pidana sebagaimana Pasal 79 Undang-Undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktek kedokteran, menyebutkan :
“Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), setiap dokter atau dokter gigi yang :
a.     dengan sengaja tidak memasang papan nama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1);
b.     dengan sengaja tidak membuat rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1); atau
c.     dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e.”


SEMOGA BERMANFAAT